Selasa, 28 Januari 2014

Sakti Muno



Sakti Muno
Seorang yang jahat datang dari negeri seberang. Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang Naga Sikati Muno yang keluar dari kawah Gunung Merapi. Rakyat sangat takut kepadanya dan didongengkan bahwa naga itu tubuhnya besar dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan telah merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan dan gadis-gadis dikorbankannya. Keempat penghulu dari Pariangan-Padang Panjang diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang kekacauan yang ditimbuklan oleh Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya sebagai seorang semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno. Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh. Akhirnya Naga Sikati Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris. Keris tersebut dinamakan  Keris Sikati Muno, keris bertuah, tak diujung pangkal mengena, jejak ditikam mati juga. Sejak itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin bertambah ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari tanah-tanah baru. Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar, melihat-lihat daerah yang baik dijadikan negeri. Dia berangkat bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia sampai pada suatu tempat mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab. Sang Sapurba berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri. Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi termasyhur, tempat kedudukan Pamuncak Koto Piliang. Datuk Bandaharo di Sungai Tarab. Selain itu raja menemui pula setangkai kembang teratai di daerah itu, kembang yang jadi pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu. Setelah istana itu siap raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang Panjang ke tempat yang baru itu, yang kemudian dinamakan Negeri Bungo Satangkai, negeri yang kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang.
(Referensi : Minangkabau Tanah Pusaka - Tambo Minangkabau)           

ERAJAAN MINANGKABAU BARU



ERAJAAN MINANGKABAU BARU
Pusat kerajaanK kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang disebut awal masa kerajaan Minangkabau Baru. Sejak inilah diciptakan dan dikukuhkan aturan adat Minangkabau yang di amalkan sampai sekarang. Walaupun telah berganti musim, adat Minangkabau tetap terpakai, pepatah menyebutkan ; Tidak lakang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Siapapun diantara orang Minangkabau yang dengan sengaja melanggar aturan adat itu, akan tersisih hidupnya dalam keluarga sendiri. Tahun 1127, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah dengan Puti Indo Jelita, yakni adik kandung dari Datuk Suri Dirajo. Setelah 14 tahun menikah, ternyata belum juga mendapat keturunan. Maka atas sepakat dewan kerajaan, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah dengan Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda kehamilan Puti tsb. Maka Sultan menikah lagi dengan Puti Sedayu. Atas rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah Sultan Paduko Basa dari permaisuri Puti Indo Jelito, yang kemudian diangkat sebagai Raja Minangkabau, bergelar Datuk Ketemanggungan. Tahun itu juga lahir pula Warmandewa dari Puti Cinto Dunia, yang kemudian bergelar Datuk Bandaharo Kayo. Tahun 1148, lahir lagi Reno Shida dari Puti Sedayu, yang kemudian bergelar Datuk Maharajo Basa. Dengan demikian telah 3 orang putra Raja, masing-masing dari tiga orang ibu.

Tahun 1149, Sultan Sri Maharaja Diraja mangkat dan waktu itu anak raja yang tertua masih berusia 2 tahun. Atas sepakat dewan kerajaan, Ibu Suri Puti Indo Jelito, langsung memegang tampuk kerajaan Minangkabau sementara menunggu Sutan Paduko Basa menjadi dewasa. Tugas harian dilaksanakan oleh tiga pendamping raja yakni Datuk Suri Dirajo, Cetri Bilang Pandai dan Tantejo Gurano. Karena kasih sayang Datuk Suri, Puti Indo Jelito menjanda, lalu dinikahkan dengan Cetri Bilang Pandai. Dari perkawinannya itu melahirkan 5 orang anak :
1. Jatang Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang (lahir 1152)2. Kalap Dunia bergelar Datuk Suri Maharajo nan Banego-nego (lahir 1154)3. Puti Reno Judah (lahir 1157), kemudian dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ke Lima Kaum untuk keturunan kemenakannya nan menjadi penghulu4. Puti Jamilan lahir 1159, kemudian dibawa Datuk Ketemanggungan ke Sungai Tarab dan ke Bunga Setangkai untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu5. Mambang Sutan lahir th 1161, setelah berumur 4 th bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan gelar mamaknya (abang dari Puti Indo Jelito)Mambang Sutan merupakan kemenakan pertama di Minangkabau yang menerima gelar dari mamaknya. 
Tahun 1165 yakni sewaktu Sutan Paduko Basa telah berumur 18 tahun, beliau diangkat sebagai penghulu bergelar Datuk Ketumanggungan, sekalipun menduduki tahta kerajaan Minangkabau, pengganti raja yang telah 16 tahun mengemban tugas dari ibunya Puti Indo Jelito. Selain itu, semua anak laki-laki Sultan Sri Maharaja Diraja dinobatkan pula menjadi penghulu.Tahun 1174 kerajaan Minangkabau baru memperluas daerah adatnya ke Sungai Tarab, Lima Kaum dan Padang Panjang. Masing-masing daerah diduduki oleh seorang penghulu anak dari tiga orang istri Sultan Sri Maharaja Diraja. Karena kepadatan penduduk daerah Pariangan maka tahun 1186-1192 diadakan perpindahan penduduk, maka terbentuklah Luhak Nan Tigo. Pada masing-masing luhak dibentuk beberapa kelarasan dan pada kelarasan dibentuk pula beberapa suku. Adapun suku dalam daerah kerajaan Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu. Siapapun bapak dari seorang anak atau apapun pangkat bapaknya, namun suku anaknya menurut suku ibunya. Untuk mengukuhkan berdirinya suku, maka harta pusaka dari nenek, diwariskan kepada ibu dan dari ibu diwariskan pula kepada anak perempuan. Aturan adat yang demikian disebut Matrilinial. Hanya dua daerah di dunia ini yang memakai aturan Matrilinial. Satu didaerah pedalaman Hindia, asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum masehi. Dan satu lagi berkembang di Sumbar. Bagi perempuan harta pusaka bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk jaminan hidup keturunan suku. Pada tahun 1292, cicit dari Puti Jamilan, bernama Putri Dara Jingga yang pemangku Putri Mahkota, dinikahkan dengan Mahisa Anabrang, Panglima kerajaan Singhasari, keluarga dari Raja Kartanegara. Sebelum menikah terlebih dahulu Mahisa di-islamkan. Tahun 1293 Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya pulang ke Singhasari yang dipanggil oleh Raja Pertama Majapahit (Raden Wijaya). Putri Dara Jingga membawa adik seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk pengasuh anaknya yang akan lahir. Beberapa bulan dikerajaan Majapahit yang mengambil alih kerajaan Singhasari itu, lahirlah anak dari Puti Dara Jingga yang diberi nama Adityawarman. Puti Dara Petak, dinikahi oleh Raja Majapahit (Raden Wijaya). Puti Dara Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuaneswari. Walaupun telah menjadi istri Raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh Adityawarman di kerajaan Majapahit. Karena Datuk Ketumanggungan telah sangat tua, maka tahun 1295, Puti Dara Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk menjadi Raja di Minangkabau dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang bernama Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak tidak mau melepasnya pulang, ingin terus mengasuh anak kakaknya. Setelah Bunda Kandung menjadi Raja Minangkabau, Datuk Ketumanggungan mangkat dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya Datuk Perpatih Nan Sebatang dalam usia 146 tahun. Si Kambang Bendahari (dayang-dayang utama dari Bunda Kandung) dinikahkan dengan Selamat Panjang Gobang (1292) yakni seorang diplomat utusan dari kerajaan Cina (Khubilai Khan). Sebelum menikah terlebih dahulu Selamat Panjang Gombak di-Islamkan. Perkawinan itu melahirkan seorang anak bernama Cindur Mato th 1294. Cindur Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa Anabrang yang yang teringat akan anak kandungnya Adityawarman jauh di Majapahit. Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat pula oleh ayah kandungnya Selamat Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang pendekar yang tangguh dan Panglima kerajaan Minangkabau yang tiada tandingan dizamannya. Adityawarman sendiri yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu perang dan ilmu kerjaan oleh Majapahit. Adityawarman pernah menjadi Wirdamatri yang merupakan predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih. Karena itu Adityawarman salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit. Setelah dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi-Taluk Kuantan, sebelum menikah Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu di-Islamkan.

Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman. Gajah Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak mau takluk kepada Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada, karena mereka sependidikan. Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada th 1348, tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan Bali. Sewaktu Minangkabau dibawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417, pertahanan kerajaan Minangkabau telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana dikerajaan Majapahit, masih mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409, tapi tetap tidak berhasil. Itu merupakan serangan yang terakhir terhadap Minangkabau. Kalau dizaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya. Sesudah Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan Raja Minangkabau, mungkin karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat ubahan, baik untuk kerajaan, maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk oleh cerdik pandai terdahulu. Demikian sempurnanya aturan adat dikerjakan Minangkabau sangat pula membantu pelaksanaan aturan adat itu, karena adat Minangkabau disusun bersendi syarak (agama Islam) dan syarak bersendi Kitabullah.

(Sumber : Kerajaan Minangkabau - Jamilus Jamin)


Asal Usul Kata Minangkabau
Orang-orang Majapahit tidak ketinggalan mencoba kecerdasan dan kecerdikan orang-orang dari Gunung Merapi ini. Pada suatu hari mereka membawa seekor kerbau besar dan panjang tanduknya, kecil sedikit dari gajah. Mereka ingin mengadakan pertandingan adu kerbau. 

Ajakan mereka itu diterima baik oleh kedua datuk yang tersohor kecerdikannya dimana-mana itu, yaitu Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang. Taruhannya adalah seperti dulu-dulu juga, yakni kapal pendatang dengan segala isinya, dan taruhan datuk yang berdua itu ialah kerajaan mereka sendiri. Waktu tiba saatnya akan mengadu kerbau, setelah kerbau Majapahit dilepaskan di tengah gelanggang, orang banyak riuh bercampur cemas melihat bagaimana besarnya kerbau yang tidak ada tandingannya di Pulau Perca waktu itu. Dalam keadaan yang menegangkan itu, pihak orang-orang negeri itupun mengeluarkan kerbaunya pula. Dan alangkah herannya dan kecutnya hati orang banyak itu melihat mereka mengeluarkan seekor anak kerbau. Anak kerbau itu sedang erat menyusu, dan orang tidak tahu, bahwa anak kerbau itu telah bebearapa hari tidak doberi kesempatan mendekati induknya. Ketika melihat kerbau besar di tengah gelanggang anak kerbau itu berlari-lari mendapatkannya yang dikria induknya dengan kehausan yang sangat hendak menyusu. 

Dimoncongnya terikat sebuah taji atau minang yang sangat tajam. Ia menyeruduk ke bawah perut kerbau besar itu, dan menyinduk-nyinduk hendak menyusu. Maka tembuslah perut kerbau Majapahit, lalu lari kesakitan dan mati kehabisan darah. Orang-orang Majapahit memprotes mengatakan orang-orang negeri itu curang. Kegaduhan pun terjadi dan hampir saja terjadi pertumpahan darah. Tetapi dengan wibawanya Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang membawa orang-orang itu ke balai persidangan. Disanalah Dt. 

Parpatih Nan Sabatang menangkis tuduhan-tuduhan orang-orang Majapahit. Akhirnya orang-orang Majapahit pemgakui kealpaan mereka tidak mengemukakan persyaratan-persyaratan antara kedua belah pihak sebelum mengadakan pertandingan. Sejak itu tempat mengadu kerbau itu sampai sekarang bernama Negeri Minangkabau. Dan kemudian hari setelah peristiwa kemenangan mengadu kerbau dengan Majapahit itu termasyhur kemana-mana, wilayah kekuasaan orang-orang yang bernenek moyang ke Gunung Merapi dikenal dengan Alam Minangkabau. Diceritakan pula kemudian rumah-rumah gadang diberi berginjong seperti tanduk kerbau sebagai lambang kemenangan.

(Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka - Tambo Minangkabau)


SEJARAH MINANGKABAU


SEJARAH MINANGKABAU

Asal-usulnya menurut Tambo Alam Minangkabau
Luhak ini membawahi daerah Rantau. Jadi ada 3 luhak dengan 3 rantau : dan akhirnya menjadi Luhak. Daerah Minangkabau yang asal adalah disekitar Merapi, Singgalang, Tandikat dan Saga. Semuanya terbagi atas 3 Luhak atau lalu jadilah lalu jadi lalu berkembang menjadi Tiga anak dari Raja Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung) dari Makadunia (Macedonia) iaitu Maharajo Alif, Maharajo Japang dan Maharajo Dirajo berlayar bersama, dan saat dalam perjalanan mereka bertengkar sehingga mahkota kerajaan jatuh ke dalam laut. Maharajo Dirajo yang membawa Cati Bilang Pandai –seorang pandai emas- berhasil membuat satu serupa dengan mahkota yang hilang itu. Mahkota itu lalu ia serahkan kepada abang-abangnya, tetapi mereka mengembalikannya kepada Maharajo Dirajo karena ia dianggap yang paling berhak menerima, iaitu karena telah berhasil menemukannya. Mereka adik beradik lalu berpisah. Maharajo Alif meneruskan perjalanan ke Barat dan menjadi Raja di Bizantium, sedang Maharajo Japang ke Timur lalu menjadi menjadi Raja di China dan Jepang (Jepun), manakala Maharajo Dirajo ke Selatan sedang perahunya terkandas di puncak Gunung Merapi saat Banjir Nabi Nuh melanda. Begitu banjir surut, dari puncak gunung Merapi yang diyakini sebagai asal alam Minangkabau turunlah rombongan Maharajo Dirajo dan berkampung disekitarnya. Mulanya wujud 

1. Luhak AGAM berpusat di BUKITTINGGI dengan Rantau PASAMAN
2. Luhak TANAHDATAR berpusat di BATUSANGKAR dengan Rantau SOLOK
3. Luhak LIMAPULUH KOTA berpusat di PAYA KUMBUH dengan Rantau KAMPAR

Batas Alam Minangkabau menurut Tambo :
“Dari Riak nan Badabua, Siluluak Punai Maif,
Sirangkak nan Badangkuang, Buayo Putiah Daguak,
Taratak Aie Hitam, Sikilang Aie Bangih , Hingga Durian Ditakuak Rajo”

“Dari Riak nan Berdebur, Siluluk Punai Maif,
Sirangkak nan Berdengkung, Buaya Putih Daguk,
Teratak Air Hitam, Sikilang Air Bangis , Hingga Durian Ditekuk Raja”

Tafsiran dari ‘Riak nan Berdebur’ adalah daerah Pesisir Pantai Barat iaitu wilayah dari Padang hingga Bengkulu; sedangkan ‘Teratak Air Hitam’ adalah Rantau Timur sekitar Kampar dan Kuantan (sekarang di Riau). Ini sesuai penjelasan bahwa selain 3 Luhak dan 3 Rantau diatas yang disebut ‘Darek” atau “Darat”, Minangkabau mempunyai daerah Rantau luar iaitu Rantau Pesisir Barat dan Rantau Timur dengan wilayah :

1. RANTAU PESISIR BARAT (Pasisie Barek): Sikilang Air Bangis, Tiku Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji, Inderapura, Kerinci (kini masuk Jambi) dan Muko-muko (Bengkulu).
2. RANTAU TIMUR : Daerah hilir sungai-sungai besar Rokan, Siak, Tapung, Kampar dan Inderagiri (Kuantan), kesemuanya kini masuk di Riau.

Asal-usulnya menurut Sejarawan
Senarai kerajaan di Sumatra yang merupakan cikal-bakal Kerajaan Minangkabau mulai zaman Hindu-Budha Abad 7 adalah :

1. KERAJAAN MALAYU (Melayu Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Berdiri sekitar Abad 6 – awal 7 M
2. KERAJAAN SRIWIJAYA TUA terletak di Muara Sabak (kini masuk masuk wilayah Tanjung Jabung, Jambi). Berdiri sekitar tengah Abad 7 – awal 8 M
3. KERAJAAN SRIWIJAYA di Palembang, Sum. Selatan. Akhir abad 7 - 11 M
4. KESULTANAN KUNTU terletak di Kampar, sekitar Abad 14 M
5. KERAJAAN MALAYU (Melayu Muda) atau DHARMASRAYA terletak di Muara Jambi, abad 12-14 M. Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singasari di Jawa Timur menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan Raja Singasari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung dan menjadi raja pertama sekitar tahun 1347

PAGARUYUNG (1347-1809)
Adityawarman meninggalkan banyak prasasti –terbanyak bahkan jika dibanding periode Raja-raja Sri Wijaya. Ia menyebut dirinya sebagai ‘Kanakamedinindra” (Penguasa Tanah Emas). Dan memang Kerajaan Pagaruyung menguasai perdagangan lada/rempah dan emas terutama di Rantau Timur dan dijual ke daerah luar melalui pesisir barat, dimana para pedagang datang dari Aceh Tamil, Gujerat dan Parsi untuk dijual di pasaran dunia. Secara berangsur-angsur kerajaan Pagaruyung mulai mundur kira-kira pada abad 15, sehingga peranan daerah Rantau Pesisir yang berupa kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatra justru semakin berkembang. Pada saat inilah Aceh yang tengah berada pada puncaknya masuk sekitar tahun tahun 1640 disertai masuknya ajaran Islam. Pada akhir abad 16, Pagaruyung sudah tidak utuh lagi, kekuasaan raja tidak mutlak.

Yang Dipertuan Pagaruyung sebagai Raja Alam membahagi kekuasaannya pada 2 Raja yang lain iaitu Raja Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus. Kesatuan tiga raja disebut “Rajo Nan Tigo Selo”. Sedangkan yang menjalankan kekuasaan Lembaga eksekutif -disebut “Baca Ampek (Empat) Balai”- terdiri 4 Datuk dengan 1 Datuk penguat iaitu :

1. Datuk Bandaharo (Menteri Utama & Keuangan) di Sungai Tarab
2. Tuan Indomo (Menteri Adat) di Suruaso

3. Tuan Makhdum (Menteri Kerajaan Wilayah Rantau) di Sumanik
4. Tuan Kadi (Menteri Agama) di Padang Ganting, diperkuat oleh
5. Tuan Gadang (Menteri Keamanan & Pertahanan) di Batipuh
Semua berada di Luhak Tanah Datar. Pada abad 17-18, Siak di Rantau Timur mulai 

melepaskan diri dan mengembangkan kekuasaannya ke utara hingga ke Rokan, Panai, Bilah, Asahan dan Tamiang. Hal ini dimungkinkan oleh kuatnya kerajaan Siak dalam perdagangan dengan Melaka dan Belanda, disamping mulai merosotnya Aceh sesudah Sultan Iskandar Muda mangkat di tahun 1639.

Perluasan daerah rantau kemudian menyeberangi Selat Melaka sehingga jadilah Negeri Sembilan di Semenanjung. Rantau Pesisir Barat yang telah dikuasai Aceh tidak lagi setia kepada Pagaruyung dimana gerakan pemurnian Islam berpusat di Bonjol kelak akan muncul. Rantau Daerah Timur bagaimanapun masih tetap patuh dan setia. Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung pergi ke rantau-rantau ini untuk mengumpul upeti (ufti) 3 kali setahun. Ini berlangsung sampai dengan kebangkitan pemurnian Islam yang memecah Minang menjadi 2 iaitu Kaum Putih/Paderi (Pemurnian Islam) dan Kaum Hitam (Adat), mereka terlibat pertempuran dalam Perang Paderi. 2 Luhak iaitu Agam dan Limapuluh Kota telah tunduk kepada Kaum Putih, tetapi Luhak Tanah Datar bertahan hingga dihancurkan oleh pasukan Paderi dari Tuanku Lelo pada tahun 1809. Munculnya Belanda ke Ranah Minang akhirnya justru menjadi pemenang atas situasi tadi, setelah Pasukan Paderi yang menang Perang Paderi melawan Kaum Adat dihancurkan Belanda.

Bagaimana pun selanjutnya Islam tetap menjadi pedoman Adat Minangkabau, dimana setiap Adat yang tidak sesuai dengan Syarak (Hukum Islam) akan dibuang. Sehingga jadilah pedoman berzaman yang berbunyi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Adat haruslah bersendi atau tunduk kepada Hukum Allah.


Awabg Abu Hezqiyal B Maryoto- Dec’2005

PEPATAH & PATITEH ADAT: SYAKTI ALAM KERINCI


PEPATAH & PATITEH
ADAT:  SYAKTI ALAM KERINCI

Didalam wilayah Syakti Alam Kerinci baik Kabupaten Kerinci Ataupun Kota Sungai Penuh sejak dari Tamiai melentuk hilir sampai Siulak melentuk mudik yang setiap kampung atau Desanya yang mengandung gaya pribahasa yang berbeda beda walaupun berwatas dengan pematang yang berjenjang, Bandar air yang mengalir namun logat dan bahasanya tetap berbeda.

Bak pepatah mengatakan
Adat Kerinci itu sama
Cuman Ica Ico pake yang berbeda

Bahkan didalam kurung Kampung mempunyai bermacam macam suku dan garis keturunan yang berlainan namun kesemuanya itu adalah bersal dari keturunan Suku Melayu bahkan ada yang mengatakan penduduk di Daerah Syakti Alam Kerinci adalah Suku Melayu yang tertua.
          
Walaupun berbeda logat bahasa pada sitiap Kampung atau Desa namun mereka saling mengerti bahasa satu dengan yang lain, bahkan mereka yang berlainan kampung mereka tetap beradabptasi dan berdialog dengan membawa logat Kampung masing masing, termasuk dalam segala tata cara Adat.

Menyinggung tentang tata cara Adat Istiadat dalam wilayah Syakti Alam Kerinci, itu semua tidak lepas dari kata kata Pepatah Dan Patiteh yang mengandung ma’na tersendiri terutama dalam pengukapan tata cara sopan santun dalam berdialog sesama Tokoh Adat Anak Jantan dan Anak Batino.
          
Dan ada juga sebahagiannya yang mengandung kata kata kiasan dan ada kata kata Ijmak dan ada kata kata Sindiran, semuanya itu adalah bertujuan untuk membangun Budi Pekerti dan Akhlak manusia seutuhnya, yang berlandasan Alqur’an Al Hadis, sesuai dengan pepatah mengatakan.

Adat yang bersendi syarak
Syarak bersendi ke Kitabbulah
Syarak yang mengatakan
Adat yang memakai

Zaman telah berubah, pengetahuan manusia meningkat dengan pesat, sudah semestinya kita membangkit yang telah lama menghilang dipenghujung jalan, yaitu membangkit batang yang terendam, menyilami pusaka yang terbenam. mencari suku kata yang menghilang, Iyalah Kata kata Pepatah dan Patiteh Adat Syakti Alam Kerinci yang tertcinta.

Oleh: Toyak Hamdani Rio (Pak Tuo Rio)

Minggu, 26 Januari 2014

*Dendam Amarah*



*Dendam Amarah*
Hening mencekam kian terasa menghujam jiwa. Dendam, amarah, iri hati dan kedengkian, telah menyelimuti qalbu. Karena keingnan dan kehendak tak terpenuhi.

Meski bunga bunga taman datang menghibur menawar diri bergoyang lembut lemah gemulai dikipas angin.

Walaupun melati tawarkan sejuta senyuman. Walau taman meminta-nya tuk selalu bersabar Semua-nya itu takkan bisa ia laksanakan”

Kini dia bagaikan sampan tampa pendayung...!" Terapung apung terhantam bebatuan sepanjang aliran sungai akhir-nya terhempas terjungkal masuk sungai dan hanyut terbawa arus.

Oleh: Toyak Hamdani Rio
Pengagum CINTA




**Cinta & Benci**

CINTA & Benci saling berdampingan. 
Bak kata para Pujangga mengatakan.  
Bak air mengalir kedua arah bertemunya di muara juga

Hati umpama intan. Hati sakit teramat perih
Di saat Cinta tertolak. Putus dalam bercinta

Hilang keseimbangan diri. Teretutup mata batin
Pikiran jernih menjadi gelap. Dada sesak 
menjadi pengap. Timbul marah.Timbul benci.  
Timbul dendam

Akhir-nya diri teraniaya. Terbenam 
dalam lumpur nista. Gelap menyelimuti 
jiwa-nya. Siksa yang didapat-nya