ERAJAAN
MINANGKABAU BARU
Pusat
kerajaanK kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang disebut awal masa kerajaan
Minangkabau Baru. Sejak inilah diciptakan dan dikukuhkan aturan adat
Minangkabau yang di amalkan sampai sekarang. Walaupun telah berganti musim,
adat Minangkabau tetap terpakai, pepatah menyebutkan ; Tidak lakang oleh panas,
tidak lapuk oleh hujan. Siapapun diantara orang Minangkabau yang dengan sengaja
melanggar aturan adat itu, akan tersisih hidupnya dalam keluarga sendiri. Tahun
1127, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah dengan Puti Indo Jelita, yakni adik
kandung dari Datuk Suri Dirajo. Setelah 14 tahun menikah, ternyata belum juga
mendapat keturunan. Maka atas sepakat dewan kerajaan, Sultan Sri Maharaja
Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah dengan
Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda kehamilan Puti tsb. Maka Sultan
menikah lagi dengan Puti Sedayu. Atas rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah Sultan
Paduko Basa dari permaisuri Puti Indo Jelito, yang kemudian diangkat sebagai
Raja Minangkabau, bergelar Datuk Ketemanggungan. Tahun itu juga lahir pula
Warmandewa dari Puti Cinto Dunia, yang kemudian bergelar Datuk Bandaharo Kayo.
Tahun 1148, lahir lagi Reno Shida dari Puti Sedayu, yang kemudian bergelar
Datuk Maharajo Basa. Dengan demikian telah 3 orang putra Raja, masing-masing
dari tiga orang ibu.
Tahun 1149,
Sultan Sri Maharaja Diraja mangkat dan waktu itu anak raja yang tertua masih
berusia 2 tahun. Atas sepakat dewan kerajaan, Ibu Suri Puti Indo Jelito,
langsung memegang tampuk kerajaan Minangkabau sementara menunggu Sutan Paduko
Basa menjadi dewasa. Tugas harian dilaksanakan oleh tiga pendamping raja yakni
Datuk Suri Dirajo, Cetri Bilang Pandai dan Tantejo Gurano. Karena kasih sayang
Datuk Suri, Puti Indo Jelito menjanda, lalu dinikahkan dengan Cetri Bilang
Pandai. Dari perkawinannya itu melahirkan 5 orang anak :
1. Jatang
Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang (lahir 1152)2. Kalap Dunia
bergelar Datuk Suri Maharajo nan Banego-nego (lahir 1154)3. Puti Reno Judah
(lahir 1157), kemudian dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ke Lima Kaum
untuk keturunan kemenakannya nan menjadi penghulu4. Puti Jamilan lahir 1159,
kemudian dibawa Datuk Ketemanggungan ke Sungai Tarab dan ke Bunga Setangkai
untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu5. Mambang Sutan lahir th
1161, setelah berumur 4 th bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan gelar
mamaknya (abang dari Puti Indo Jelito)Mambang Sutan merupakan kemenakan pertama
di Minangkabau yang menerima gelar dari mamaknya.
Tahun 1165
yakni sewaktu Sutan Paduko Basa telah berumur 18 tahun, beliau diangkat sebagai
penghulu bergelar Datuk Ketumanggungan, sekalipun menduduki tahta kerajaan
Minangkabau, pengganti raja yang telah 16 tahun mengemban tugas dari ibunya
Puti Indo Jelito. Selain itu, semua anak laki-laki Sultan Sri Maharaja Diraja
dinobatkan pula menjadi penghulu.Tahun 1174 kerajaan Minangkabau baru
memperluas daerah adatnya ke Sungai Tarab, Lima Kaum dan Padang Panjang.
Masing-masing daerah diduduki oleh seorang penghulu anak dari tiga orang istri
Sultan Sri Maharaja Diraja. Karena kepadatan penduduk daerah Pariangan maka
tahun 1186-1192 diadakan perpindahan penduduk, maka terbentuklah Luhak Nan
Tigo. Pada masing-masing luhak dibentuk beberapa kelarasan dan pada kelarasan
dibentuk pula beberapa suku. Adapun suku dalam daerah kerajaan Minangkabau
diatur menurut garis keturunan ibu. Siapapun bapak dari seorang anak atau
apapun pangkat bapaknya, namun suku anaknya menurut suku ibunya. Untuk mengukuhkan
berdirinya suku, maka harta pusaka dari nenek, diwariskan kepada ibu dan dari
ibu diwariskan pula kepada anak perempuan. Aturan adat yang demikian disebut
Matrilinial. Hanya dua daerah di dunia ini yang memakai aturan Matrilinial.
Satu didaerah pedalaman Hindia, asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum
masehi. Dan satu lagi berkembang di Sumbar. Bagi perempuan harta pusaka bukan
untuk kepentingan pribadi, tapi untuk jaminan hidup keturunan suku. Pada tahun
1292, cicit dari Puti Jamilan, bernama Putri Dara Jingga yang pemangku Putri
Mahkota, dinikahkan dengan Mahisa Anabrang, Panglima kerajaan Singhasari,
keluarga dari Raja Kartanegara. Sebelum menikah terlebih dahulu Mahisa
di-islamkan. Tahun 1293 Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya
pulang ke Singhasari yang dipanggil oleh Raja Pertama Majapahit (Raden Wijaya).
Putri Dara Jingga membawa adik seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk
pengasuh anaknya yang akan lahir. Beberapa bulan dikerajaan Majapahit yang
mengambil alih kerajaan Singhasari itu, lahirlah anak dari Puti Dara Jingga
yang diberi nama Adityawarman. Puti Dara Petak, dinikahi oleh Raja Majapahit
(Raden Wijaya). Puti Dara Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuaneswari.
Walaupun telah menjadi istri Raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh
Adityawarman di kerajaan Majapahit. Karena Datuk Ketumanggungan telah sangat
tua, maka tahun 1295, Puti Dara Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk
menjadi Raja di Minangkabau dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo
Kanduang yang bernama Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena
Puti Dara Petak tidak mau melepasnya pulang, ingin terus mengasuh anak
kakaknya. Setelah Bunda Kandung menjadi Raja Minangkabau, Datuk Ketumanggungan
mangkat dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya Datuk Perpatih Nan
Sebatang dalam usia 146 tahun. Si Kambang Bendahari (dayang-dayang utama dari
Bunda Kandung) dinikahkan dengan Selamat Panjang Gobang (1292) yakni seorang
diplomat utusan dari kerajaan Cina (Khubilai Khan). Sebelum menikah terlebih
dahulu Selamat Panjang Gombak di-Islamkan. Perkawinan itu melahirkan seorang
anak bernama Cindur Mato th 1294. Cindur Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa
Anabrang yang yang teringat akan anak kandungnya Adityawarman jauh di
Majapahit. Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat pula oleh ayah kandungnya
Selamat Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang pendekar yang
tangguh dan Panglima kerajaan Minangkabau yang tiada tandingan dizamannya.
Adityawarman sendiri yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu
perang dan ilmu kerjaan oleh Majapahit. Adityawarman pernah menjadi Wirdamatri
yang merupakan predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih. Karena itu
Adityawarman salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit. Setelah dewasa
pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak
mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi-Taluk Kuantan, sebelum menikah
Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu di-Islamkan.
Pada tahun
1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku
(Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak
yang bernama Ananggawarman. Gajah Mada pernah marah kepada Adityawarman karena
tidak mau takluk kepada Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah
Mada, karena mereka sependidikan. Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada
th 1348, tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan
Bali. Sewaktu Minangkabau dibawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417,
pertahanan kerajaan Minangkabau telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana
dikerajaan Majapahit, masih mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409,
tapi tetap tidak berhasil. Itu merupakan serangan yang terakhir terhadap
Minangkabau. Kalau dizaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan
Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya,
maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan
Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya.
Sesudah Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan Raja Minangkabau, mungkin
karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat ubahan, baik untuk kerajaan,
maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk oleh cerdik pandai terdahulu.
Demikian sempurnanya aturan adat dikerjakan Minangkabau sangat pula membantu
pelaksanaan aturan adat itu, karena adat Minangkabau disusun bersendi syarak
(agama Islam) dan syarak bersendi Kitabullah.
(Sumber :
Kerajaan Minangkabau - Jamilus Jamin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar